ja en id fr

Local Taxing Power dan Pembangunan Berkelanjutan

local-taxing-power-dan-pembangunan-berkelanjutan

Secara persentase, kebergantungan Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang terdiri dari 6 Kabupaten dan 1 Kota, terhadap dana Transfer Ke Daerah (TKD) dari kemampuan belanja daerah mencapai hingga 70 persen.

Kondisi ini mencerminkan bahwa masih tingginya kebergantungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terhadap dana TKD termasuk APBN.

Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Telah mengatur tentang bagaimana hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta diatur pula strategi penguatan kebijakan fiskal yang mana salah satunya melalui penguatan local taxing power.

Perlu upaya penguatan yang optimal dan maksimal untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui berbagai sektor potensial. Wacana tersebut sudah sering dibahas dalam berbagai forum pimpinan daerah dengan OPD dan Institusi terkait yang menangani permasalahan tersebut.

Walaupun untuk mewujudkan kemandirian keuangan sangat sulit dan perlu dorongan yang sangat keras namun upaya efektifitas pemungutan pajak dan retribusi daerah dari berbagai sektor potensial yang ada harus dilakukan secara agresif.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), sebuah kebijakan yang memiliki optimisme untuk perbaikan dalam pelaksanaan HKPD, termasuk di dalamnya perpajakan daerah. Pengesahan UU HKPD menyusuli disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada bulan Oktober 2021, yang dimaksudkan untuk perbaikan kebijakan perpajakan di sisi pajak pusat.

Hal tersebut sejalan dengan salah satu pilar UU HKPD yaitu local taxing power, Pemerintah Daerah dan Kementerian Keuangan bersama-sama saling membantu bagaimana daerah dapat meningkatkan local taxing power, yang diketahui saat ini masih banyak daerah yang mempunyai potensi besar, namun belum dapat direalisasikan dengan baik.

Beberapa potensi-potensi pajak dari sektor pertambangan, industri, perkebunan, pariwisata maupun industri olahan masih sangat terbuka untuk dilakukan pendataan ulang apakah sudah dilakukan pemungutan pajak dan retribusi dengan efektif.

Masih terdapat beberapa tantangan yang dihadapi Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam memperluas basis pajak daerah, salah satunya updating database perpajakan yang harus dilengkapi dan kurangnya kesadaran masyarakat yang turut mempengaruhi rendahnya kinerja penerimaan perpajakan di daerah.

Selain itu, penguatan local taxing power sebagai salah satu pilar penopang kesejahteraan masyarakat, hanya dapat berhasil optimal jika didukung oleh pengelolaan dan pemanfaatan data yang baik, serta terjalinnya sinergi yang efektif dan selaras tidak hanya antar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, tetapi juga dengan Pemerintah Pusat dan pihak ketiga terkait, sehingga kedua hal tersebut kiranya dapat menjadi atensi dan prioritas bersama untuk ditingkatkan.

Sehingga seirama dengan semangat Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), perlu adanya sinergi dari berbagai stakeholder, yang dalam hal ini DJPK, DJP, dan Pemerintah Daerah untuk mengoptimalisasikan pemungutan pajak pusat dan daerah melalui pertukaran, pengelolaan, dan pemanfaatan data.

Program yang rutin dilakukan dalam memberikan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak adalah program pemutihan pajak kendaraan, yang merupakan strategi peningkatan PAD melalui retribusi, sehingga terdapat peningkatan jumlah pendapatan pajak kendaraan dari program tersebut.

Tentunya harapan kedepan, tanpa stimulan masyarakat tetap taat pajak. Potensi lainnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, adalah sektor pariwisata dimana retribusi dapat dioptimalkan sejalan dengan jumlah tingkat kunjungan wisatawan.

Artinya ketika pemerintah daerah berharap memperoleh peningkatan PAD dari penerimaan pajak dan retribusi daerah, maka harus dilakukan juga pengembangan optimal pada sektor-sektor tersebut.

Hal yang penting diketahui juga bahwa terdapat istilah earmarked didalam alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, yang dimaknai bahwa dana-dana yang di transfer tersebut sebagian besar penggunaannya telah di tentukan.

Seperti halnya Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa (DD) sebagian besar telah ditentukan penggunaannya (earmarked). Tentunya kondisi ini membuat Pemerintah Daerah tidak fleksibel dalam mengalokasikan dana transfer tersebut sesuai dengan kebutuhan utama daerah.

Seringkali hal tersebut menjadi hambatan bagi Pemerintah Daerah terkait dengan kekurangan anggaran untuk melaksanakan program-program yang penting dan harus cepat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan fiscal, maka Pemerintah Daerah harus memperkuat basis Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penguatan PAD bukan hanya sekadar pilihan, tetapi menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Penguatan PAD menjadi penting karena sumber pendapatan tersebut lebih fleksibel penggunaannya dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat.

UUHKPD sebagai salah satu pilar penguatan local taxing power, harus didukung oleh pengelolaan yang baik dan sinergiitas antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta antar pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.

APBD menjadi nyawanya perekonomian daerah, karena APBD merupakan instrument penting dan utama bagi pemerintah daerah dalam merancang dan mengimplementasikan dan merancang program-program pembangunan yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Saat ini di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Beberapa Kepala Daerah telah memberikan pernyataan bahwa APBD daerahnya ada yang minus, sehingga daerah tersebut harus pintar-pintar mencari sumber pendapatan yang kuat dalam memperkuat APBD bagi daerahnya.

Kondisi saat ini sebagian besar alokasi APBD lebih banyak digunakan untuk pembiayaan belanja pegawai dibandingkan dengan alokasi untuk kegiatan pembangunan yang diinginkan masyarakat.

Ketergantungan pada belanja rutin seperti gaji dan tunjangan pegawai yang pada akhirnya membuat ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, dan pengembangan ekonomi daerah menjadi sangat terbatas.

Tentunya Salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan fiskal pemerintah ialah dengan memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penguatan PAD bukan hanya sekadar pilihan, tetapi menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah.

Penguatan PAD menjadi penting karena sumber pendapatan tersebut lebih fleksibel penggunaannya dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah mutlak akan memiliki lebih banyak keleluasaan dalam merancang dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya melalui optimalisasi sumber-sumber PAD.

Pendapatan dari sumber-sumber PAD seperti pajak daerah, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dapat digunakan lebih leluasa sesuai kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah lebih leluasa menggunakan PADnya untuk mendanai berbagai program pembangunan yang bersifat strategis dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Upaya dalam meningkatkan PAD bukanlah tugas yang mudah dan sampai saat ini, masih banyak daerah yang belum mampu dan memiliki potensi sumber daya ekonomi yang memadai untuk meningkatkan PAD secara signifikan.

Tantangan dan Peluang Pajak Daerah dalam Kerangka UU HKPD Salah satu pilar utama dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) adalah peningkatan kemampuan pajak daerah atau local taxing power.

Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat kemandirian fiskal pemerintah daerah dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu langkah konkret yang diatur dalam UU tersebut adalah perubahan proporsi bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dari sebelumnya 70:30 (70% untuk provinsi dan 30% untuk kabupaten/kota) menjadi 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota.

Kebijakan ini juga mencakup Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), di mana kewenangan pengelolaannya lebih banyak diserahkan kepada daerah. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah dan memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam menggali potensi pajak lokal.

Perubahan proporsi tersebut memiliki dampak signifikan terhadap upaya penguatan fiskal daerah. Penggunaan PAD yang tidak terikat earmarking memungkinkan daerah untuk lebih leluasa mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan dan prioritas pembangunan lokal dengan tetap melalui pengelooan anggaran dyang sesuai dengan prosedur Tak kalah pentingnya para kepala daerah harus mampu menggiring investor untuk berinvestasi opada daerah yang dipimpinnya.

Mendorong investor dengan meembuka usaha yang bersifat padat karya sehingga lapangan pekerjaan terbuka bagi masyarakat serta PAD pun menjadi meningkat. Mendorong Produktivitas dan Investasi Daerah Sebagai upaya dalam peningkatan penerimaan pajak daerah, pemerintah daerah tidak dapat hanya bergantung pada peningkatan kapasitas administrasi pajak saja, namun ada pengungkit dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Harapannya dari kondisi PAD yang meningkat, APBD yang terkelola dengan baik, Kemandirian Fiskal semakin menguat dan investasi domestik dan investasi asing terus tumbuh sehingga dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan menciptakan berbagai peluang usaha baru dan mendorong penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. (*)